Halaman

Senin, 04 April 2011

::imajinasi fatamorgana perasaan::



by: RIFKI IRAWAN



seribu jejak romantika masa lalu telah ku tinggalkan dengan segala kenangan gula-gula yang masih saja tetap melekat dalam suatu wadah yang ku sebut dengan nama perasaan. Ketika aroma masa lalu terendus oleh hati, peluh tak enggannya berhenti menetes keluar lewat pori-pori dahi. Seakan aku ingin mengulang sebuah suasana romantika yang terbangun antara arjuna dengan srikandinya.


Suasana yang tercipta kala itu benar-benar menimang-nimang aku dalam kegemerlapan dunia. di dalam benakku, Aku dan dia terang benderang disinari oleh sinar merah jambu sang rembulan. Yang lain redup bagaikan hitamnya keadaan malam. Tanpa sadar kata-kata manis yang telah lama tertahan ku bisikkan dengan lembut dan bibirnya menjawab perkataanku dengan senyum dan tersipu malu. Namun sayang, kisah ini telah usai, perasaanya pun berubah 180 derajat menuju kebencian yang teramat dalam.
Setahun sudah aku bercumbu dengan dewi kesepian. Dia selalu memagut, merasuk jiwa ketika aku sendiri, termenung, menahan bibirku untuk ungkapkan sebuah cerita. Ia mempunyai kuku-kuku tajam yang terus menyayat dinding hati hingga darah merah keluar dengan cepatnya. Meskipun dalam keadaan seperti itu aku masih bisa berjalan meskipun terkadang aku terseok-seok menahan luka bekas cakarnya.
Aku terus berjalan, terus melangkahkan kaki yang mulai terasa berat untuk ku jejaki diatas bumi. Aku berjalan mencari bulan merah jambu yang telah lama tak aku lihat senyumnya. Urat di leherku pun mencuat seiring teriakkan kerasku ke arah wajah langit yang tak lagi indah. Namun Langit nampak sombong enggan bicara, Hanya gema pantul suara yang berkata-kata menjawab teriakkan ini jiwa.

Suaraku penaka angin lalu yang kini menghilang, aku terjatuh merangkak, aku lemah dan tak bisa berdiri lagi. tiba-tiba mataku enggan berkedip, bulan merah jambu yang selama ini ku dambakan kini ada didepan kedua bola mataku.. mataku berbinar, bersinar. Tanganku mengepal hendak menggapai bulan itu. Semakin ku berusaha menggapai, semakin lama bulan itu semakin samar, kemudian menghilang.

Aku semakin bisu dan melemah terbaring di tanah dengan mengusap muka menggunakan kedua tangan. Aku menyadari bahwa bulan itu hanya imajinasi fatamorgana perasaan yang sering aku rasakan. Aku menganggap akan terbit si bulan tetapi ini hanya permainan khayal belaka, ternyata si bulan bukan bulan sejati namun sang bulan masihlah bulan maya dan semu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar